Slow City, Alternatif Liburan Setelah Pandemi Covid-19 Berakhir - Bolehshop

Halo Oppa dan Eonnie, ada yang pernah dengar istilah Slow City atau Cittaslow? Istilah ini lahir pada tahun 1999 dari ide Paolo Santurnini Walikota Greve, kota kecil di wilayah Tuscany, Italia, yang ingin memasukkan makanan lokal sebagai primadona di kotanya sebagai alternatif dari fast food yang semakin marak. Kemudian gerakan Cittaslow ini berkembang dan memiliki tujuan yang lebih besar dari sekedar slow food, yakni meningkatkan kualitas hidup di kota-kota dengan memperlambat kecepatannya secara keseluruhan. Terutama dalam penggunaan ruang kota dan arus kehidupan serta lalu lintas dalam kota tersebut.

Kualitas hidup yang ingin dicapai dari Slow City Movement ini diturunkan ke dalam konsep 3E yakni economy, environment, equity. Konsep tersebut dijalankan melalui program yang berlandaskan pada good food, good environment dan good community. Munculnya gerakan ini juga sebagai jawaban dari keinginan masyarakat yang mulai lelah dengan kondisi kota yang umumnya terlihat hiruk pikuk dan sibuk tiada henti.

Slow City, Alternatif Liburan Setelah Pandemi Covid-19 Berakhir - Bolehshop

Sumber: Cittaslow USA

Meskipun Slow City pertama kali berkembang di negara Eropa beberapa negara di Asia pun sudah mengadopsi gerakan ini. Salah satunya yakni Korea Selatan, tepatnya di Kota Jeungdo Island, Cheongsando Island, Distrik Yuchi, Desa Samjicheon, Kawasan Yesan, dan Desa Jeonju Hanok.

Buat kamu yang sedang merencanakan liburan setelah pandemi Covid-19 berlalu, cocok banget untuk memasukkan Slow City di Korea Selatan ke dalam daftar tujuanmu. Karena Slow City memberikan nuansa liburan berbeda terutama untuk kamu yang setiap hari mengalami hiruk pikuk di kota besar, seperti Jakarta.

Uniknya Slow City di Korea Selatan

Kalau kamu ke Kota Jeongdo misalnya, kamu enggak akan menemukan banyak hal yang biasanya kamu lihat di sebuah kota. Mall, bar atau restaurant, juga lampu lalu lintas. Hanya ada dua taksi, dan dua sekolah, dan satu tempat karaoke dengan mesin yang masih kuno.

Membosankan? Tentu tidak. Karena lanskap Jeongdo terdiri dari persawahan yang luas dan peternakan garam yang sangat indah dan menakjubkan saat matahari terbenam.

Sementara Cheongsando Island memiliki keunikan seperti arti dari namanya yaitu pulau pegunungan hijau. Nama tersebut menggambarkan suasana alam di Cheongsando Island. Meskipun di Korea Selatan memiliki 4 musim yang biasanya bisa merubah warna lanskap alami pegunungan, hal itu tidak berlaku di pulau itu.

Slow City, Alternatif Liburan Setelah Pandemi Berakhir

Sumber: Wow Korea

Pulau ini juga sudah lama disebut Seonsan atau Seonwon karena pertapa Tao berdiam di pulau itu. Pemandangan indah yang menciptakan harmoni dengan nusantara yang jernih dan biru menjadi salah satu daya tarik bagi turis lokal atau pun internasional.

Distrik Yuchi adalah salah satu slow city di Korea Selatan. Sering menjadi lokasi syuting film dan semakin populer akhir-akhir ini. Padahal dulunya, distrik yang berada di Jangheung, Provinsi Jeollanam itu nyaris terputus dengan dunia luar. Namun lama-lama menjadi cukup dikenal para wisatawan karena keunikannya.

Berkunjung ke Yuchi kita akan melihat metode pertanian organik yang masih mereka terapkan hingga sekarang. Dengan metode ini kelestarian alam Yuchi tetap terjaga. Hasil pertanian Yuchi juga terkenal sebagai makanan sehat yang tidak saja layak konsumsi tapi juga bergizi tinggi.

Slow City, Alternatif Liburan Setelah Pandemi Berakhir - Bolehshop

Sumber: http://korea.panduanwisata.id/

Samjicheon terletak di Provinsi Jeolla Selatan dan sejak tahun 2007 mendapat predikat Slow City. Di desa yang berpenduduk sekitar 500 keluarga ini kita bisa melihat rumah-rumah Korea tradisional yang disebut dengan hanok.

Warga Samjicheon benar-benar hidup dengan memaksimalkan apa yang ada di sekitar mereka. Aneka sajian untuk makan sehari-hari diambil dari kebun. Panganan sebagai kudapan adalah kue-kue tradisional Korea. Bahkan untuk berpergian mereka menggunakan gerobak sapi.

Beberapa warga yang tinggal di Samjicheon bukanlah asli desa ini. Diantara mereka justru berasal dari kota dan karena ingin mencari ketenangan mereka memutuskan pindah ke Samjicheon. Profesor Werner Sasse misalnya. Ia adalah pengajar Korea keturunan Jerman. Menurutnya Samjicheon memberikan suasana yang tenang untuk belajar dan melukis.

Pesona Desa Jeonju Hanok terletak pada ujung atap bangunan hanok yang unik, yang sedikit terangkat ke langit. Rumah Hanok umumnya dibagi menjadi dua bagian, anchae dan sarangchae. Sarangchae adalah tempat tinggal para pria. Karena pria dan wanita harus tetap terpisah, anchae ditempatkan jauh di dalam rumah sehingga tertutup dan tenang.

Ciri lain dari hanok adalah semua rumah dipanaskan dengan ondol, sistem pemanas lantai yang unik. Karena orang Korea suka duduk, makan, dan tidur di lantai, itu perlu tetap hangat. Untuk merasakan seperti apa hanok itu, pengunjung dapat memesan akomodasi hanok atau mengunjungi Hanok Life Experience Hall.

Kira-kira kamu tertarik mau mengunjungi Slow City di Korea Selatan yang mana nih?

Manyo

Pure Cleansing Oil

Cosnori

Whitening Dress Cream

Plant 36.5

Plant Cell Relaxing Body Scrub

Heimish

All Clean Balm


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *